Kamis, 07 Maret 2013

Banjir Jakarta: Bukan Bencana Alam Tapi Bencana Keserakahan Penguasa dan Pengusaha

Banjir di Ibu Kota Jakarta sudah menjadi siklus menahun. Setiap musim hujan – apalagi dengan intensitas tinggi – dipastikan akan membuat Jakarta nyaris lumpuh. Bukan kali pertama Jakarta di landa banjir hebat. Sejarah mencatat Jakarta pernah dilanda banjir besar pada tahun 1621, 1654, dan 1918. Selanjutnya banjir besar juga terjadi pada tahun 1976, 1996, 2002, dan 2007. Sekarang baru saja memasuki tahun baru, kembali ibukota negara lumpuh akibat air bah tumpah di mana-mana, bahkan hingga ke istana negara.
Sungguh mengherankan dan memalukan kejahilan  manusia –bukan murni bencana alam– terus berulang-ulang tanpa ada pelajaran berharga yang dapat diambil sebagai kebijakan yang tepat. Kita bertanya; pernahkah ibu kota negara-negara Barat seperti London, Washington, Berlin, Moskow dilanda banjir berulang setiap tahun?
Menyalahkan cuaca sebagai penyebab banjir adalah lari dari tanggung jawab dan menutup mata dari penyebab utamanya; yakni keserakahan dan sikap abai terhadap pengurusan rakyat. Keserakahan pemerintah –khususnya pemerintah DKI Jakarta– terlihat dari bertambahnya titik banjir setiap tahun. Hal ini dikarenakan pemerintah DKI membiarkan, lebih tepatnya mengizinkan kawasan itu diubah menjadi pemukiman dan kawasan komersial.
Dalam kurun waktu lima tahun sebanyak 56 situ di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan  Bekasi  telah menghilang. Yang tersisa pun mengalami pendangkalan dan kerusakan parah karena diabaikan oleh pemda. Sedangkan luas total situ di Jabodatabek berkurang drastis yaitu 2.337,10 hektare untuk total 240 situ, sekarang menjadi hanya 1.462,78 hektare untuk 184 situ.
Padahal dengan potensi 42 danau, 13 sungai, kanal barat dan timur, serta curah hujan yang cukup besar hingga kapasitas 2 miliar kubik per tahun, seharusnya penduduk Jakarta bisa memiliki air tanah dan air bersih yang melimpah.
Akan tetapi keserakahan para penguasa dengan mengatasnamakan pendapatan asli daerah (PAD) pemerintah merusak lingkungan, kongkalikong dengan kapitalis dan mengabaikan kepentingan masyarakat. Maka program penanggulangan banjir apapun, termasuk rencana pembangunan deep tunnel tidak akan menyelesaikan persoalan. Karena akar persoalannya bukanlah pada tata ruang wilayah, akan tetapi pada ideologi yang dianut oleh seluruh penguasa negeri ini di daerah maupun pusat. Persoalan banjir di ibu kota  –dan wilayah manapun– akan terus terjadi bila penguasa tidak memiliki kemauan politik (political will) mengurus kepentingan publik.
Sejarah kekhilafahan Islamiyyah telah menunjukkan betapa syariat Islam sanggup menciptakan pemerintah yang peduli pada masyarakat dan menjaga lingkungan mereka. Misalnya di Provinsi Khuzestan, daerah Iran selatan misalnya, masih berdiri dengan kokoh bendungan-bendungan yang dibangun untuk kepentingan irigasi dan pencegahan banjir.  Bendungan-bendungan tersebut di antaranya adalah bendungan Shadravan, Kanal Darian, Bendungan Jareh, Kanal Gargar, dan Bendungan Mizan.  Di dekat Kota Madinah Munawarah, terdapat bendungan yang bernama Qusaybah.  Bendungan ini memiliki kedalaman 30 meter dan panjang 205 meter.  Bendungan ini dibangun untuk mengatasi banjir di Kota Madinah.  Di masa kekhilafahan ‘Abbasiyyah, dibangun beberapa bendungan di Kota Baghdad, Irak.  Bendungan-bendungan itu terletak di sungai Tigris.  Pada abad ke 13 Masehi, di Iran dibangun bendungan Kebar yang hingga kini masih bisa disaksikan.
Kebusukan penguasa dan sistem yang saat ini diterapkan yang menyebabkan ibukota dan berbagai wilayah di tanah air setiap musim penghujan mengalami bencana banjir. Dengan mengubah pola pikir dan sistem sekarang menuju Islam maka persoalan ini tidak akan terjadi berlarut-larut seperti tanpa jalan keluar. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.[Iwan Januar – LS HTI]